Kamis, 29 Desember 2011


Perspektif historis peringatan 1 Muharram
Oleh:
Mimi MUthiatillah
UMAT Islam kembali bertemu dengan pergantian tahun baru hijriah 1 Muharram 1432 H, bertepatan dengan tanggal 7 Desember 2010. Perubahan tahun kalender Islam —yang juga disatukan dengan pergantian tahun baru Jawa oleh penguasa Mataram saat itu— berdekatan waktunya perayaan hari Natal dan tahun baru Masehi dan Imlek patut dijadikan renungan bersama.
Dalam tradisi Islam maupun Jawa, bulan Muharram atau Sura ini memiliki makna yang unik. Orang Jawa memandang Sura merupakan bulan istimewa yang penuh mitos. Di bulan inilah hubungan antara manusia dengan makhluk halus (bangsa lelembut) ditata dan diharmonisasi kembali melalui ritual adus kungkum (berendam di air), pencucian benda-benda keramat dan sejenisnya. Laku untuk meraih kasekten (kesaktian) dan kamukten (kemuliaan) yang mengandalkan kontrak kerja dengan bangsa alus akan lebih mujarab bila dilaksanakan pada bulan ini.
Umat Islam juga memiliki cerita yang khas mengenai muharram ini. Selain karena Muharram telah dijadikan sebagai titik tolak pergantian tahun baru hijriah, Muharram juga menjadi bulan favorit para nabi zaman dulu diselamatkan dari berbagai petaka. Hingga hari ini, ritual menyambut tahun baru Islam dirayakan melalui pembacaan doa akhir dan awal tahun, termasuk disunnahkan bagi umat Islam untuk puasa Asyura (hari ke-10), di samping Tasu’a (hari ke-9) dan hari ke-11.
Dasar puasa sunnah ini adalah salah satu hadits Rasulullah yang termaktub dalam Sahih Bukhari: ’’Dari Ibnu ’Abbas, ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, ia melihat orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Nabi bertanya: ’Apakah ini?’ Orang-orang Yahudi menjawab: ’Ini hari yang baik. Pada hari inilah Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa AS berpuasa pada hari itu. Kata Nabi kemudian: ’Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian. Maka Nabi pun melakukan puasa dan kaum mukmin untuk melakukannya juga.”
Ada juga hadits yang diriwayatkan dalam Sahih Muslim bahwa orang yang berpuasa pada hari Asyura (10 Muharram), ditambah hari Tasu’a (9 Muharram) dan tanggal 11 Muharram akan diampuni dosa-dosanya selama setahun yang lalu. Dua hadits ini setidaknya menambah keyakinan betapa Asyura merupakan bulan penting karena telah terjadi peristiwa bersejarah yang patut diperingati.
Konon banyak sekali nabi Allah yang disembuhkan atau diselamatkan pada tanggal 10 Muharram. Nabi Ayyub disembuhkan dari penyakit kustanya, Nabi Musa diselamatkan dari kejaran Raja Fir’aun, Nabi Nuh dibebaskan dari kepungan banjir besar, Nabi Ibrahim diselamatkan dari kobaran api Raja Namrud dan lain sebagainya. Nabi-nabi pilihan ini diangkat derajatnya dan mengalami titik balik (turning point) kehidupan pada hari Asyura itu. Hadits dan bukti historis di atas dijadikan pijakan oleh kaum muslim untuk melakukan puasa sunnat Asyura sebagai wujud rasa syukur karena Allah telah menyelamatkan manusia pilihan dari tindak kebathilan kaumnya.
Hari duka atau suka cita
Ali Syari’ati pernah mengatakan bahwa sejarah tentang kebaikan adalah sejarah tentang sederetan kekalahan (1993:162). Begitu pula pengungkapan kebenaran seringkali diwarnai dengan maraknya kebatilan. Bukanlah suatu kebetulan bila sejarah Islam tidak hanya mencatat peristiwa yang manis-manis saja. Manisnya sejarah Muharram karena ia dijadikan sebagai sistem kalender Islam. Muharram dijadikan sebagai bulan pertama tahun Islam lebih karena alasan politis-sosiologis. Sebab penamaan hijrah itu dimaksudkan sebagai penghargaan terhadap momentum hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah. Sedangkan peristiwa hijrah sendiri tidak terjadi di bulan Muharram tapi di bulan Maulud (Rabi’ul Awwal).

Kemenangan para nabi di bulan ini tidak terjadi di dalam sejarah Islam. Muharram dalam sejarah Islam malah diwarnai peristiwa kelam dan berlumuran darah, tepatnya di tanggal 10 Muharram. Dikisahkan ketika berhasil memperdayai Ali Ibn Abi Thalib dan merebut kekuasaan al-khilafah al-rasyidah dari sahabat Rasulullah yang saleh ini, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan melancarkan propaganda dan agitasi politik ke seluruh pelosok untuk mereduksi dan menghilangkan pengaruh Ali ibn Abi Thalib.
Ali menantu Rasulullah dari anaknya Fatimah, mukmin pertama dari kalangan anak-anak yang beriman atas kerasulan Nabi Muhammad, yang menggantikan tempat tidurnya saat rumah Nabi dikepung kaum Jahiliyyah, yang meruntuhkan benteng Khaibar, yang memenangkan perang Badr, yang tegak berdiri di Hud ketika sahabat yang lain melarikan diri dari medan perang, kini dicaci-maki di berbagai tempat, termasuk di mimbar-mimbar masjid. Pengikut dan anak cucu Ali dianiaya dan disia-siakan.
Al-Hasan putra Ali, bersedia damai dengan Mu’awiyah asal ia menghentikan kecaman terhadap ayahnya. Meski akhirnya, al-Hasan harus menelan pil pahit karena Mu’awiyah berkhianat dan tidak menepati janjinya. Sementara al- Husain, saudara al-Hasan bersikap lebih keras kepada orang-orang yang menganiaya ahl al-bait (keluarga Ali keturunan Rasulullah). Di makam Rasulullah, ia bertekad menegakkan kembali Islam Muhammadi —Islam yang diajarkan Muhammad SAW yang menentang kezaliman dan melawan penindasan. Al-Husain bertekad menjadikan Islam sebagai agama yang pro kaum mustadh’afin.
Kebenaran yang diyakini anak Ali ibn Abi Thalib ini harus dibayar mahal. Empat ribu pasukan Yazid ibn Muawiyah berhasil menghabisi al-Husain dan pengikutnya di padang Karbala. Al-Husain wafat dan kepalanya dipenggal, diarak sepanjang jalan dan diserahkan kepada penguasa saat itu, tepat 10 Muharram 61 H. Jadi bagi keluarga Rasulullah, 10 Muharram adalah hari dukacita, berkabung, bukan hari bersyukur. Inilah hari lahirnya Shi’isme (loyalis Ali ibn Abi Thalib) yang selalu diperingati dengan darah dan air mata oleh pengikutnya.
Dengan propaganda politiknya, Mu’awiyah berhasil membalik persepsi publik dengan menjadikan 10 Muharram sebagai hari kemenangan yang patut dirayakan. Muslim Indonesia yang mayoritas bermazhab Sunni, tampaknya ikut-ikutan terlena oleh agenda politik Mu’awiyah ini. Tanpa menyadari motif politik di balik perayaan bulan Muharram, maka amalan-amalan yang dianjurkan untuk dikerjakan di bulan ini akan kehilangan makna atau malah salah sasaran.
Perjuangan mempertahankan dan menegakkan kebenaran seharusnya lebih militan dan sistematis. Jangan sampai loyo dan akhirnya dikalahkan oleh kebathilan. Bahwa kita wajib mewujudkan pemerintahan yang baik adalah kebenaran yang harus dilaksanakan. Kalau kita sepakat bahwa korupsi adalah common enemy yang harus diperangi bersama, mestinya harus disuarakan keras-keras oleh semua pihak dan dengan komitmen tinggi untuk tidak melakukannya.
Jihad menegakkan kebenaran dan memberantas kebathilan adalah spirit utama peringatan Muharram. Spirit ini jauh lebih utama ketimbang berpuasa, sekalipun lebih afdhal bila dilakukan bersamaan, berpuasa sekaligus jihad. Pertarungan antara kebenaran dan kebathilan berlangsung terus tanpa henti, sampai datang saat di mana yang haq akan dimenangkan dan yang bathil dimusnahkan. Kemenangan melawan kebatilan tidak pernah terwujud tanpa usaha serius dari manusia.
Sejarah Islam seperti hijrah Nabi Muhammad harus segera diluruskan. Terjadi salah kaprah dan anggapan salah mengenai sejarah hijrah ini. Kalau Anda mengira peringatan 1 Muharam sebagai awal Nabi Muhammad hijrah dari Mekah ke Madinah, maka keyakinan itu salah besar.
“Nabi Muhammad yang ditemani sahabat Abu Bakar hijrah ke Madinah pada 12 Rabiul Awal bukan pada 1 Muharam sebagai tanda dimulainya tahun hijriah,” kata Ketua Yayasan Muthahhari, K.H. Dr. Jalaluddin Rahmat dalam diskusi buku “Psikologi Agama” di Masjid Darul Ihsan PT Telkom Jalan Japati, beberapa waktu lalu.
apabila umat Islam meluangkan waktu dua menit saja untuk membaca buku, maka Nabi Muhammad melakukan hijrah pada 12 Rabiul Awal bukan pada 1 Muharam. “Jadi, keliru besar peringatan 1 Muharam sebagai awal hijrahnya Nabi Muhammad,” tegas pakar Islam ini.
 peringatan tahun baru Islam tiap 1 Muharam juga baru dimulai sejak 25 tahun lalu atau sekira tahun 1970-an yang berasal dari ide pertemuan cendekiawan Islam di AS. “Waktu itu terjadi fenomena maraknya dakwah, masjid-masjid dipenuhi jemaah, dan munculnya jilbab hingga kemudian dikatakan sebagai kebangkitan Islam, Islamic Revival. Hal ini diperkuat dengan liputan majalah Times yang dalam sampul depannya memuat tulisan Islamic Revival,” katanya.
Untuk lebih menggelorakan kebangkitan Islam,akhirnya disepakati perlunya peringatan tahun baru Islam hingga menyebar ke seluruh Muslimin termasuk di . “Tidak ada landasan hukum baik Alquran maupun hadis soal peringatan tahun baru Islam. Saya menganggap bid’ah, tapi tak berani menyebut bid’ah dhalalah,” katanya.
Sedangkan peringatan Sura seperti di Keraton Surakarta maupun Keraton Yogyakarta merujuk kepada kata Asysyura atau 10 Muharam yang memiliki landasan hadisnya. “Anehnya di Indonesia peringatan 10 Muharam tidak banyak dilakukan malah ada sebagian umat Islam yang ingin mengecilkan malah meniadakannya. Di lain pihak, ada sebagian kecil umat Islam yang berusaha mengadakan peringatan Asysyura meski gaungnya belum besar,” timpalnya.
Bagi Ketua Umum Ikatan Jamaah Ahlul Bait (Ijabi) itu, peringatan 1 Muharam yang diidentikkan dengan kebangkitan Islam malah jauh dari tujuan yang diharapkan. “Saya terjebak kemacetan panjang di jalur selatan yang ternyata setelah diselidiki penyebabnya pawai 1 Muharam. Tampak anak-anak kecil diangkut truk bak terbuka hingga saya heran apakah ini yang disebut kebangkitan Islam?” ujarnya. istilah kebangkitan Islam yang selama 25 tahun ini belum juga terwujud malah umat Islam di dunia termasuk makin terpuruk. “Boro-boro bangkit malah makin terpuruk dan tersingkirkan. Umat Islam malah dituding sebagai teroris hingga citranya negatif. Apakah ini yang disebut kebangkitan Islam?” tanyanya lagi.
Kang jalal meyakini ajaran Islam merupakan rahmat bagi alam semesta, namun tak sedikit pula yang berbuat kezaliman dengan mengatasnamakan “bendera” agama. “Kadang saya dibuat heran. Di satu sisi Islam mengajarkan kasih sayang, namun tak sedikit pula Muslimin yang memfitnah, mengadudomba, bahkan membunuh saudaranya dengan mengatasnamakan agama,” katanya.
Ajaran Islam juga mendorong seorang Muslim untuk berbuat baik, membangun pesantren, sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan lain-lain yang didasarkan atas perintah agama. “Namun, tak sedikit pula yang membawa label agama lantas menyakiti, menyebarkan kebencian, dan lain-lain. Agama adalah kenyataan terdekat kita sekaligus terjauh,”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar